Monday, June 9, 2014

Kesombongan Lidah

          Seorang sarjana tersesat dalam sebuah perjalanan, telah tiba di sebuah jalan yang sempit, lorong yang gelap lagi kotor. dengan air yang tergenang di setiap tempatnya, bagaikan lautan-lautan kecil bagi binatang merayap di bumi.



          Matanya menyapu ke setiap sudut yang basah dan berhiaskan tumbuhan lumut yang hijau kecoklat-coklatan. raut wajahnya tegang dan pucat karena rasa takut yang melebihi rasa herannya. sampai kemudian matanya terpaku pada orang tua yang lusuh, yang duduk langsung bersentuhan dengan kulit bumi, namun wajahnya yang renta melukiskan ketidakpeduliannya akan hal itu.


   lalu, si sarjana menyapa,
Salam bagimu, Wahai Bapak yang asing bagi mataku! Aku tidak tahu cara untuk menyapa dirimu, sebab aku tidak tahu apakah hari masih terang ataukah hari sudah gelap. sebab, tempat ini gelap, namun ia gelap bukan karena bulan depan pasukan binatangnya yang telah menguasai langit. melainkan karena aku tidak dapat melihat langit dengan kedua mataku karena tiang-tiang yang menutupi pandanganku. maka, izinkan aku bertanya

“Tempat apakah ini?”
 orang tua itu menjawab singkat,
"Tidakkah engkau melihat bahwa tempat ini adalah istanaku?"
 si sarjana kembali bertanya,
Bagaimana mungkin engkau telah menyebut lorong ini sebagai istanamu? apakah engkau tengah mengolok-olok diriku? sebab, istana adalah sebuah bangunan megah nan indah.

di dalamnya terang melebihi terangnya cahaya matahari di tengah hari, dan udaranya segar melebihi segarnya udara dari pegunungan di saat fajar. lantainya bersih dan layak untuk engkau bercermin. tiangnya kokoh dan nyaman untuk engkau bersandar.

tamannya luas dan hijau untuk beristirahat. dan kolamnya jernih untuk membersihkan tubuhmu. lalu, bagaimanakah kata-kataku tentang istana ini dapat kau bandingkan dengan apa yang telah kau sebut sebagai istanamu ini
       maka, orang tua itu menjawab,

"Gambarkanlah apa yang telah kusebut sebagai istanaku ini dengan kata-katamu, wahai sarjana! sebab hatiku ingin mendengarnya."
       lalu, si sarjana menjawab,
apa yang harus aku sebut sebagai istanamu ini sesungguhnya bukanlah sebuah istana! bahkan bila kubandingkan dengan sebuah gubu tua pun, ia masih berada jauh dibawahnya.

bagaimana mungkin engkau berani menyebut tempat ini istana? sebab, tempat ini gelap melebihi gelapnya apabila engkau berada di sebuah hutan yang lebat. lantainya kumuh dan tak berbentuk untuk diinjak oleh sepasang kaki yang bersih.

tiangnya rapuh dan bengkok hanya cocok untuk sebuah tubuh yang tersembunyi.
tamannya lembab dan berbatu-batu hingga dapat membuat langkahmu tergelincir.

kolamnya berbau busuk dan hanya coock untuk menghanyutkan serangga-serangga kecil yang menjijikan.

lalu, bagaimana mungkin kata-kataku tentang istanamu ini dapat kau bandingkan dengan apa yang kusebut sebagai istana?

sebab, pikiranku telah membayangkan engkau tidur dengan tanah sebagai kasurmu dan batu sebagai alas kepalamu.

dan dengan pikiranku pun telah membayangkan engkau tidur berselimutkan debu-debu tanah yang berterbangan dan disanalah engkau tidur, duduk,dan berdiri dengan telapak kakimu yang beralaskan daki dari kotoran-kotoran istanamu.

maka, berhentilah engkau mempermainkanku dengan tidak mengatakan bahwa tempat ini adalah istanamu?
       orang tua itu menjawab,


"Istanaku bukanlah istanamu! dan istanamu bukanlah istanaku! apakah engkau menemukan bahwa aku bersalah dengan apa yang telah kuucapkan? aku lahir dan hidup di tanahku dan engkau lahir dan hidup di tanahmu. maka,mengapa engkau tega melukai perasaanku dengan menuduh bahwa aku mempermainkanmu?

aku tahu, engkau besar oleh ilmu pengetahuanmu yang berasal dari melihat dengan apa yang bisa kau lihat dengan sepasang matamu, tapi engkau telah menjadi buta apabila engkau melihat dengan mata hatimu.
maka, jangnalah engkau berkata-kata kepadaku sebab kata-katamu tidaklah sepadan untukku dan kata-kataku bahkan terlalu megah untuk pikiranmu. maka, jangan kau berikan cahaya pengetahuan hanya pada pikiranmu, melainkan juga pada nuranimu. sebab, pengetahuanmu memang dapat mengangkat derajatmu di hadapan manusia, tapi tidak di hadapan Tuhan.

aku tahu,engkau sombong dengan kata-katamu dan telah mengecilkan jiwaku dengan istanaku karena engkau merasa yain dengan pengetahuanmu. tapi, apakah itu semua akan berguna bagi kehidupanmu mendatang, ialah kehidupan setelah tubuhmu lumat karena ditelan oleh bumi dengan tulang-tulangnya?

janganlah kau sombong! beginilah adanya kehidupan. jangan kau usik tidurku dengan kata-katamu yang pintar, melainkan berbuatlah sesuatu bagiku dengan ilmu pengetahuanmu. hal itu akan menjadi lebih berarti bagi kehidupanmu di dunia dan di hadapan Sang Pencipta.”

         Setelah mendengar teguran tersebut,menyesallah si sarjana dengan kata-kata yang telah diucapkannya itu. Namun, ia pulang dengan hati lapang dan penuh syukur karena ia telah mengetahui kesalahannya.

                                                             

 (Dikutip dari buku Beranda Bahagia)

0 comments:

Post a Comment

 
;